
Beberapa hari yang lalu, saya menemukan sebuah buku yang menarik berjudul ON BECOMING A PERSON : a therapist’s view of psychotherapy yang ditulis oleh seorang psikolog bernama Carl Ransom Rogers. Bukunya sudah cukup usang sih, tapi isinya cukup menarik menurut saya. Jadi, saya akan membahas seluruh isi buku ini? Tidak-tidak… mending baca sendiri aja deh :p
Flashback ke postingan saya terdahulu yang berjudul "Mari kita nilai ! Berapa nilainya ?". Disana saya menyadari kenyataa bahwa dalam kehidupan, kita memang tidak terlepas dari perilaku saling menilai satu sama lain. Tapi tetap saja saya pun tidak bisa memungkiri pernyataan yang dikemukakan oleh Mikimos bahwa “manusia menilai manusia adalah hal yang konyol”.
Teringat sebuah kisah tentang asal usul istilah “debat kusir”. Saya kutipkan dari blog nya Kang Aom:
Istilah debat kusir muncul ketika Birokrat ulung Indonesia pada jaman orde baru Harmoko iseng naik delman (dokar) dari rumahnya menuju tempat kerjanya. Baru beberapa meter delman melaju, tercium bau menyengat yang tidak enak. Kemudian terjadi debat :
- Pak Harmoko : “Bang, delmannya kok bau yach ?”.
- Kusir yang juga merasakan adanya bau itu langsung menjawab : “iya maaf pak, kudanya kentut !”
- Pak Harmoko menimpali. : “ Kudanya masuk angin tuch, makanya kalau malam masukkan ke kandang”
- Merasa disalahkan Kusir lantas membantah : “Bukan masuk angin pak, tapi keluar angin”
- Sebagai seorang birokrat ulung tentu menjawab lagi sambil berusaha meyakinkan si kusir : “Masuk Angin ah!”
- Kusir yang merasa berpengalaman merawat kuda lantas menjawab lagi : “paaaaak, yang namanya kentut itu bukan memasukkan angin tapi mengeluarkan angin , jadi keluar angin ! bapak ini gimana sich ?
- Pak Harmoko masih tetap berusaha meyakinkan dengan menambah referensi “menurut petunjuk bapak presiden, “…… kuda itu masuk angin !
- Pak Harmoko dan Kusir tetap pada pendiriannya tentang kentut (kuda) sampai akhirnya Pak Hamoko turun dari dokar untuk menuju kantor dan kusir kembali ke jalan untuk mencari penumpang lainnya.
Tapi setelah saya membaca buku berjudul ON BECOMING A PERSON : a therapist’s view of psychotherapy yang ditulis oleh Carl Ransom Rogers , saya jadi sedikit tercerahkan. Yak langsung kita buka halaman 18 :
… I have found it of enormous value when I can permit myself to understand another person. The way which I have worded this statement may seem strange to you. Is it necessary to permit oneself to understand another? I think it is. Our first reaction to most of the statement which we hear from other people is an immediate evaluation, or judgment, rather than an understanding of it. When someone expresses some feeling or attitude or belief, our tendency is, almost immediately, to feel “That’s right”; or “That’s stupid”; “That’s abnormal”; “ That’s unreasonable”, “That’s incorrect”, “That’s not nice.” Very rarely do we permit ourselves to understand precisely what the meaning of his statement is to him…
Saya coba terjemahkan kira-kira kayak gini :
… Saya menemukan nilai yang luar biasa ketika saya dapat mengijinkan diri saya untuk memahami orang lain. Cara yang saya pakai dalam mengungkapkannya dalam kata-kata mugkin akan terdengar aneh untuk anda. Apakah kita perlu mengijinkan diri kita untuk memahami orang lain? Saya rasa begitu. Reaksi pertama kita terhadap hampir semua pernyataan yang kita dengar dari orang lain adalah evaluasi langsung atau penghakiman, ketimbang pengertiannya terhadap (pernyataan) tersebut. Ketika seseorang mengekspresikan perasaannya, atau sikapnya, atau keyakinannya, kecenderungan kita hamper seketika itu juga merasa bahwa “ itu benar” atau “itu bodoh”, “itu tidak normal”, “itu tidak beralasan”, “itu tidak tepat”, “itu tidak baik”. Sangat jarang kita mengijinkan diri kita untuk memahami secara tepat apa arti pernyataan itu bagi orang (yang mengeluarkan pernyataan) itu…
(Maaf klo terjemahan saya agak kacau >_<)
Hmm.. benar juga! Daripada saling menilai, mungkin akan lebih baik ketika kita saling memahami. Si kusir akan memahami mengapa si penumpang menganggap kuda itu sedang “masuk angin” dan sebaliknya si penumpang akan memahami mengapa si kusir menganggap uda itu sedang “buang angin”. Dan berakhirlah debat yang berkepanjangan tersebut.
SALING MEMAHAMI, SEBUAH JALAN UNTUK MENGAKHIRI SELURUH PERTIKAIAN UMAT MANUSIA DI MUKA BUMI INI.
Benarkah? Tentu tidak semudah itu. Lanjutkan Carl !!!
… I believe this is because understanding is risky. If I let myself really understand another person, I might be changed by that understanding. And we all fear change. So as I say, it is not an easy thing to permit oneself to understand and individual, to enter thoroughly and completely and empathically into his frame of reference. It is also a rare thing…
Yang artinya ...
Saya percaya hal ini karena memahami itu beresiko. Jika saya membiarkan diri saya benar-benar mengerti orang lain, saya mungkin akan berubah oleh pemahaman tersebut. Dan kita semua takut untuk berubah. Jadi seperti yang saya katakana, bahwa bukan hal yang mudah untuk mengijinkan diri kita mengerti secara pribadi, untuk masuk secara sungguh-sungguh, secara utuh dan secara tegas kedalam sudut pandangnya. Ini juga adalah hal yang sangat jarang.
(Huahahaha... maaf klo lagi-lagi ada yang salah...)
Ahh… benar juga. Sadar atau tidak sadar, kebanyakan orang memang takut untuk berubah… dalam artian, merubah keyakinan yang selama ini sudah mereka pegang sebagai sesuatu yang benar. Bukan begitu? Salah satu contoh sederhana tapi sangat nyata… AGAMA...
@#$%^&*( !#%&(@$^*)……!!!!!!
Udah ah, klo ngomongin tentang agama ga ada matinya deh. Apalagi agama memang merupakan topik yang cukup sensitif. Kunjungilah ruang Tanya Jawab Agama dan Kepercayaan dengan cara klik disini :p
Yah, mungkin selain beresiko, juga karena memahami sudut pandang orang lain pun bukan perkara mudah… Walaupun kita ingin, tetapi belum tentu bisa langsung untuk memahaminya. Butuh sebuah penelusuran, penyelidikan, pencarian data-data yang mendukung untuk mengetahui “mengapa ia berfikir, berpendapat, dan bertingkah laku seperti itu”.
Coba perhatikan sebuah dialog sederhana ini :
A : "hiks-hiks-hiks…" (menangis T_T)
B : "mengapa kamu menangis?"
A : "karena saya lagi sedih"
B : "kenapa kamu bersedih?"
A : "karena uang saya hilang"
B : "berapa uang kamu yang hilang?"
A : "dua ribu rupiah"
Tentu, dalam memahami mengapa A menagis, B harus melakukan penelusuran, penyelidikan, pencarian data-data yang mendukung dengan melemparkan beberapa pertanyaan untuk mendapat sebuah pemahaman bahwa : A menangis karena kehilangan uang dua ribu rupiah. Dengan mengetahui mengapa A menangis, maka B dapat dengan mudah menghentikan tangis A, yaitu dengan cukup mengganti uang A yang hilang sebesar dua ribu rupiah, habis perkara.
Berbeda ketika B yang tanpa mengetahui mengapa A menangis, bukannya menanyakan mengapa ia menagis, malah langsung saja memberikan nasihat. “Sudahlah A, jangan menagis… uang bisa membeli segalanya”
Sebuah penelusuran, penyelidikan, pencarian data-data yang mendukung untuk mengetahui “mengapa ia berfikir, berpendapat, dan bertingkah laku seperti itu” dalam kenyataannya kadang tidak selalu semudah seperti apa yang saya contohkan diatas… Penyebab utamanya sih antara lain, kurangnya kepedulian dan keterbukaan. Kepedulian terhadap apa yang sebenarnya orang lain pikirkan, dan keterbukaan terhadap apa yang sebenarnya kita pikirkan.
SALING MEMAHAMI, SEBUAH JALAN PANJANG DAN BERLIKU UNTUK MENGAKHIRI SELURUH PERTIKAIAN UMAT MANUSIA DI MUKA BUMI INI.